EKSISTENSI ILMU KALAM DAN
KEGERSANGAN SPRITUAL DI ERA MODERN
Oleh : Agus Widianto / 088152408
Program Pascasarjana IAIN Imam Bonjol Padang
Abstrak
Ilmu Kalam merupakan salah satu disiplin ilmu yang dipelajari di Perguruan Tinggi Islam, bahkan sekarang sudah menjadi salah satu mata pelajaran pada Madrasah Aliyah di Indonesia. Ilmu Kalam adalah ilmu salah satu ilmu dasar yang mesti diketahui ketika mendiskusikan persoalan yang berkaitan dengan ke-Tuhan-an.
Sejarah munculnya Ilmu Kalam ketika Rasulullah SAW telah wafat, menjadi diskusi yang hangat dikalangan cendekiawan Muslim. Berbagai pendapat dan argumen muncul kepermukaan, baik yang fundamental maupun yang berupa penjelasan semata.
Keberadaan konsep-konsep keimanan yang dianggap telah baku, membuat Islam dan ajarannya menjadi kaku dan tidak dapat mengikuti perkembangan zaman. Bila hal ini dibiarkan secara terus menerus maka umat Islam akan mengalami stagnasi kalau tidak sampai pada kemunduran.
Oleh karena itu dibutuhkan refresh terhadap konsep-konsep yang dianggap telah baku tadinya. Dengan berbagai argument dan dalil yang dapat diterima akal sehat maka, reform terhadap konsep-konsep di atas musti dan harus dilakukan.
Dengan dilakukannya reform konsep-konsep tersebut di
harapkan mampu menjawab kekosongan, kehampaan dan kegersangan spritual yang melanda masyarakat modern ini.
harapkan mampu menjawab kekosongan, kehampaan dan kegersangan spritual yang melanda masyarakat modern ini.
Kata kunci : Eksistensi Ilmu Kalam, Ilmu Kalam Masyrakat Modern, Ilmu Kalam Modern.
Ajaran Islam secara garis besar dapat dikategorikan dalam dua kelompok. Kelompok pertama adalah ajaran Islam yang sifatnya absolut, universal, kekal, tidak berubah dan tidak dapat diubah. Kelompok kedua adalah ajaran Islam yang sifatnya relatif, bisa berubah, bisa diubah bahkan terkadang harus diubah karena tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman. Ajaran ini dikenal dengan hasil ijtihad.
Keberadaan atau kedudukan Ilmu Kalam sama dengan kedudukan ilmu-ilmu ke-Islam-an lainnya, seperti ilmu fiqh, ilmu tasawuf, ilmu filsafat dan lain sebagainya. Ilmu kalam tidak membicarakan persoalan yang ketentuan hukumnya sudah baku (qath’i al-dalalah), akan tetapi hanya membicarakan persoalan-persoalan yang tidak secara tegas disebutkan dalam al-Qur’an dan Hadits (zhanni al-dalalah). Dengan kata lain ilmu kalam hanya menjabarkan persoalan-persoalan ijtihadi.
Disebutkan juga bahwa ilmu kalam, membahas persoalan-persoalan yang krusial dalam Islam yaitu persoalan keimanan / tauhid, oleh karena itu ilmu ini termasuk ilmu yang penting dalam Islam. Sebab ia akan mempengaruhi keyakinan umat Islam dalam beragama.
Menurut Eka Putra Wirman, ada dua tokoh yang berpengaruh dalam mengukuhkan ilmu kalam dalam sistem akidah Islam, yaitu : Imam al-Asy’ari dan Ibnu Taimiyah.
1. Imam Abu Hasan al-Asy’ari
Beliau merupakan tokoh yang awalnya Mu’tazilah membawa formulasi baru yang memadukan antara keimanan dan logika. Sebuah formulasi yang mampu menjelaskan dan mempertahankan akidah dengan argumen yang logis. Kehadiran Imam Abu Hasan al-Asy’ari inilah yang menjadi faktor utama diterimanya Ilmu Kalam sebagai salah satu ilmu agama dan bahkan menduduki posisi yang terhormat diantara ilmu-ilmu lainnya.
Pengaruh Imam al-Asy’ari ini merambat pada ulama fiqh dan mazhab. Mazhab pertama yang menerima Ilmu Kalam al-Asy’ari ini adalah ulama mazhab al-Syafi’i. hal itu disebabkan karena Imam al-Asy’ari merupakan ulama terkemuka mazhab al-Safi’i.
Dari mazhab maliki muncul pula ulama besar yang mengikuti kalam al-Asy’ari yaitu al-Baqillani. Demikian juga dengan mazhab hanafi dan Dzahari.
2. Ibnu Taimiyah
Seperti dijelaskan di atas bahwa ilmu kalam telah dapat diterima oleh berbagai ulama fiqh dan mazhabm bahkan telah tersebar hingga keberbagai dinasti. Namun demikian sebagian Ulama Hadits masih keberatan menerima ilmu kalam menjadi bagian penting dalam ilmu-ilmu Islam, yang dikenal dengan kelompok salafiah.
Ketika Ibnu Taimiyah muncul pada abad ke tujuh hijrah dan memaparkan akidah Islam dengan pendekatan kalam, maka sikap apriori mereka mulai hilang. Banyak kalangan salafiah yang terbiasa menggunakan dialektika kalam dalam membentengi akidah dari berbagai pengaruh dan serangan yang datang dalam dan luar Islam.
Menurut Ahmad Mahmud Subhi, usaha yang dilakukan salafiah dalam membela akidah dengan menggunakan kalam justru lebih hebat dari kelompok al-Asy’ariah sendiri yang memasuki masa kemunduran dan taklid.
Abdul Aziz Dahlan dalam bukunya “Teologi dan akidah dalam Islam” mengemukakan bawah peroalan-persoalan kalam merupakan solusi jitu terhadap berbagai problematika umat dan kegersangan spritual di era modern.
Topik pembicaraan ilmu kalam yang dapat menjawab eksistensi dan kegersangan spritual di era modern ini adalah sebagai berikut :
1. Persoalan Iman dan Kufur
Persoalan ini merupakan persoalan yang pertama sekali muncul setelah terjadinya peristiwa tahkim dan dilanjutkan dengan terjadinya perang shiffin. Persoalan ini yang nantinya merupakan cikal bakal lahirnya paham murji’ah yang beih-benihnya sudah mulai keliatan pada masa Khalifah Utsman bi Affan. Pada awal abad ke II Hijrah, persoalan ini juga yang melatarbelakangi munculnya paham mu’tazilah.
2. Persoalan takdir Tuhan dalam kaitannya dengan kehendak dan dan perbuatan manusia.
Munculnya persoalan ini sudah mulai kelihatan cikal bakalnya ketika pada masa Nabi dan Khulafa al-Rasyidin, namun tidak berlarut-larut karena nabi memerahi dan mengehentikan pembicaraan tentang takdir itu.
Sepeninggalan Nabi dan Khulafa al-Rasyidin, pada tahun ke 70-an H, mencuat kembali paham ini yang dipelopori oleh Ma’bad al-Juhani. Paham ini yang kemudia dikenal dengan qadariyah. Paham ini ditengarai berasal dari Abu Yunus Sansawaih, salah seorang yang pernah masuk Islam kemudian murtad lagi.
3. Persoalan Takdir manusia sejak azali
Persoalan ini dikemukakan oleh Ja’d bin Dirham dan Jaham bin Safwan. Menurut riwayat paham ini berasal dari Yahudi yang kemudian hari dikenal dengan sebutan jabariyah.
Jika Ilmu Kalam betul-betul ingin menjadi ilmu, demikian Nancey Murphy mengutip Wolfhart Pannenberg, maka ia tidak cukup semata-mata merupakan studi atas kitab suci tapi harus mencari dan menemukan sejumlah masukan berdasarkan data empiris kontemporer. Pendapat senada dikemukakan oleh guru besar Studi Agama dari University of California, Walter H. Capps, bahwa studi agama masa depan harus meminjam dan mengadaptasi sejumlah pemahaman dan penemuan dari berbagai disiplin keilmuan yang lain.
Pola pikir dan logika yang digunakan dalam ilmu kalam (‘aqidah, doktrin, dogma) adalah pola pikir deduktive, pola pikir yang sangat tergantung pada sumber utama (teks). Sejauh yang diketahui bahwa pola pikir deductive hanyalah salah satu saja dari pola pikir yang ada. Masih ada yang disebut dengan inductive dan abductive.
Pola pikir inductive mengatakan bahwa ilmu pengetahuan bersumber dari realitas empiris-historis. Realitas empiris-historis yang berubah-ubah, yang bisa ditangkap oleh indera dan dirasakan oleh pengalaman dan selanjutnya diabstraksikan menjadi konsep-konsep, rumus-rumus, ide-ide, gagasan-gagasan, dalil-dalil yang disusun sendiri oleh akal pikiran.
Dalam pola pikir inductive tidak ada sesuatu apapun yang disebut ilusif. Semua yang dikenal oleh manusia dalam dunia konkret ini dapat dijadikan sebagai bahan dasar ilmu pengetahuan, tidak terkecuali ilmu kalam. Tapi menurut Amin Abdullah, dalam analisis sejarah perkembangan ilmu pengetahuan (history of science) pola pikir deductive dan inductive dianggap sudah tidak memadai lagi untuk dapat menjelaskan secara cermat tata kerja diperolehnya ilmu pengetahuan yang sesungguhnya.
Perkembangan ilmu pengetahuan era abad 20 memunculkan kategori baru dalam pola pikir keilmuan, yaitu pola pikir abductive. Pola pikir ini lebih menekankan the logic of discovery dan bukan the logic of justification. Pengujian secara kritis terhadap apa yang dapat disebut sebagai bangunan keilmuan, termasuk didalamnya rumusan manuasia tentang keilmuan agama atau rumusan-rumusan aqidah dapat dikaji kembali validitas dan kebenarannya melalui pengalaman-pengalaman yang terus-menerus berkembang dalam kehidupan praksis sosial yang aktual.
Persoalan-persoalan yang dihadapi pada masa sekarang ini lebih diwarnai oleh isu-isu yang menuntut masalah kemanusiaan secara universal. Isu seperti demokrasi, pluralitas agama dan budaya, hak asasi manusia, lingkungan hidup, kemiskinan struktural menjadi tantangan sekaligus menjadi agenda persoalan yang dihadapi oleh generasi kini. Isu-isu tersebut jelas berbeda dengan isu-isu abad tengah dan zaman klasik yang biasa diangkat dalam kajian kalam dan falsafah Islam klasik.
Ketika dihadapkan kepada isu-isu tersebut pengembangan dan pembaharuan pemikiran ilmu kalam memang merupakan keniscayan. Tahapan awal dalam upaya mengembalikan “keseimbangan” antara bobot pemikiran ilmu kalam klasik yang bermuatan moralitas normatif dan tuntutan perkembangan ilmu pengetahan kontemporer yang bersifat empiris mutlak diperlukan kritik epistemologis yang mendasar.
Selanjutnya upaya rekonstruksi harus menuju sebuah format teologi yang bisa berdialog dengan realitas dan perkembangan pemikiran yang berjalan sa’at ini. Untuk itu objek kajian ilmu kalam klasik yang bersifat transendent-spekulatif, seperti pembahasan tentang sifat-sifat Tuhan, yang relevansinya kurang jelas dengan kehidupan masa kini harus diganti dengan kajian yang lebih aktual, seperti hubungan Tuhan dengan manusia dan sejarah, korelasi antara keyakinan agama dengan pemeliharaan keadilan dan masih banyak lagi aspek lain.
Bahkan Hassan Hanafi, seorang filosuf Muslim kontemporer secara radikal melontarkan tentang perlunya diupayakan pergeseran wilayah pemikiran yang dahulu hanya memusatkan perhatian kepada persoalan-persoalan ketuhanan (teologi) ke arah paradigma pemikiran yang lebih menelaah dan mengkaji secara serius persoalan kemanusiaan (antropologi)
Ada delapan langkah yang ditawarkan oleh Hassan Hanafi menuju perubahan ini. 1. from God to Land; 2. from Eternity to Time; 3. from Predistination to Free will 4; from Authoryti to Reason 5; from Theory to Action; 6. from Charisma to Mass-participation; 7. from Soul to Body; dan 8 from Eschatology to Futurology.
Para penganut modernis mengasumsikan bahwa individu merupakan seorang yang cakap sama halnya dengan yang lain untuk membentuk berbagai kepercayan dan mengucapkan bahasa (pembimbing bagi lainnya). Pengetahuan dan bahasa masyarakat hanyalah semata-mata koleksi dari individu-individu. Akan tetapi dalam priode posmodernism, komunitas memainkan sebuah aturan yang sangat penting. Komunitas ilmuan lah yang memutuskan kapan berbagai fakta dipandang telah menyimpang secara serius.
Dalam era postmodernism, holisme sebagai bentuk epistemologi dan teori makna di pihak lain pada dasarnya memiliki hubungan yang tidak bisa ditawar lagi. Oleh karena itu, dalam pandangan Murphy, untuk menetapkan jaringan kita terhadap kepercayan dalam memandang dunia, seseorang harus terlebih dahulu merubah kepercayaannya yang khusus (internalized) tentang dunia sekaligus dapat menetapkan berbagai macam arti supaya memperoleh hasil yang lebih baik. Keyakinan dan kebermaknaan tak bisa dipisahkan.
Dalam hubungannya dengan postmodern-theology, Murphy berangkat dari teologi post-liberal Lindbeck dengan teori holistiknya mengenai pengetahuan dan pengenalannya terhadap fungsi bahasa yang berbeda-beda.
Demikian pula Thienmann yang melihat secara teliti hubungan antar keduanya dalam kaitannya dengan usulan sebuah pembenaran (justification) yang tanpa dasar (terlembaga) terhadap doktrin wahyu. Dalam usulannya terhadap teologi, ia menggunakan pendekatan “yang tanpa dasar” terlebih dahulu. Artinya, dengan ungkapan sederhana, tanpa terikat oleh suatu ajaran yang dilembagakan atau agama yang sudah dilembagakan.
Dalam perspektif teologi Islam (ilmu kalam), Islam misalnya bukan lagi Khawarij, bukan al-Asy’ariah, Mu’tazilah dan lain sebagainya. Di sini Thienmann menggunakan model pengetahuan yang bebas dasar teori (terlembagakan) atau starting point atau pembenaran terlebih dahulu dari sebuah keyakinan. Era postmodernism ingin melihat fenomena sosial, fenomena keberagamaan apa adanya tanpa harus terlebih dahulu “terkurung” oleh anggapan dasar dan teori baku apalagi standard yang diciptakan pada masa rentang waktu tertentu (modernism).
Seperti yang telah diketahui bahwa teori-teori ilmu sosial modern mengandaikan adanya struktur dan rekonstruksi baku yang bisa dibangun secara kokoh dan bisa berlaku secara universal. Apa yang disebut dengan grand theory, begitu hebatnya, sehingga orang percaya berlebihan terhadap keampuhan teori tersebut. Grand Theory dianggap mampu menjelaskan berbagai gejala sosial dimana saja dan kapan saja.
Dominasi teori-teori besar seperti itu, dengan mengikuti apa yang dikatakan Amin Abdullah, menutup kemungkinan munculnya teori-teori lain yang barangkali jauh lebih dapat membantu memahami realitas dan memecahkan persoalan. Klaim adanya metodologi baku, standard, yang tak bisa diganggu gugat, itulah yang ditentang oleh orang-orang seperti Paul Feyerabend
Bila konsep di atas dihubungkan dengan Islam, ada berbagai ciri khas teologi non-foundationalism seperti yang disebutkan itu: pertama, pembenaran kepercayan adalah khusus kepada keimanan seorang Muslim, jama’at dan berbagai tradisinya; kedua, bahasa teologis yang ditawarkan adalah terikat kepada aspek keimanan dan ketiga, teologi menggunakan pembenaran menyeluruh dan mencari hubungan antara kepercayaan yang diperselisihkan (khilafiyah) dan jaringan keyakinan yang saling berhubungan dimana ia terdapat pada proses sebuah pendekatan rasional.
Dalam melihat agama sebagai sebuah keyakinan, Lindbeck, secara epistemilogis, membandingkan agama-agama dengan pemahaman teoritis ilmu pengetahuan, khususnya sains. Dalam sebuah teori, seseorang harus mengevaluasi klaim-klaim kebenaran berdasarkan ketetapan di antara berbagai keyakinan beserta pengalaman-pengalaman yang ada. Untuk evaluasi ini seseorang harus menggunakan berbagai kriteria, termasuk kemampuannya untuk memahami data baru dan menyiapkan penafsiran yang mudah dipahami dari berbagai situasi.
DAFTAR KEPUSTAKAAN
- Abdullah, Amin, Falsafah Kalam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1995)
- Azra, Azyumardi, Kontek Berteologi di Indonesia, Pengalaman Islam (Jakarta: Paramadina, 1999)
- Bucher, Justus, Charles Peirce’s Empiricism (New York: Octagon Books, 1980)
- Capps, Walter H, Religious Study: The Making of a Discipline, (Minneapolis: Augsburg Portress, 1995)
- Dahlan, Abdul Aziz, Teologi dan Akidah dalam Islam, IAIN IB Press , Padang, 2001
- Daudy, Ahmad, Kuliah Ilmu Kalam, Bulan Bintang, Jakarta, 1997
- Hanafi, Hassan, Dirasat Islamiyyah, (Kairo: Maktabah al-Anjilo al-Misriyyah, tt.)
- Karim, Muhammad Nazir, Dialektika Teologi Islam, Nuansa, Bandung, 2004
- Murphy, Nancey, Theology in The Age of Scientific Reasoning, (Ithaca and London: Cornell University Press, 1990)
- Nurdin, M. Amin, Sejarah Pemikiran Islam, Amzah, Jakarta, 2012
- Wirman, Eka Putra, Kekuatan Ahlussunnah wa al-Jamaah, Badan Litbang dan Diklat Kemenag RI, 2010
- Zar, Sirajuddin, Teologi Islam : Aliran dan Ajarannya, IAIN IB Press, Padang, 2003